Jumat, 26 November 2010

RANCANGAN BIOREAKTOR dan PROSES PRODUKSI GAS METHANA dari LIMBAH TEMPE

Disusun oleh: Purnamawa
A.    JUDUL
Rancangan Bioreaktor dan Proses Produksi Gas Methana dari Limbah Tempe

B.     LATAR BELAKANG
            Berbagai kasus pencemaran lingkungan dan memburuknya kesehatan masyarakat yang banyak terjadi dewasa ini diakibatkan oleh limbah cair dari berbagai kegiatan industri, rumah sakit, pasar, restoran hingga rumah tangga. Hal ini disebabkan karena penanganan dan pengolahan limbah tersebut belum mendapatkan perhatian yang serius. Sebenarnya, keberadaan limbah cair dapat memberikan nilai negatif bagi suatu kegiatan industri. Namun, penanganan dan pengolahannya membutuhkan biaya yang cukup tinggi sehingga kurang mendapatkan perhatian dari kalangan pelaku industri, terutama kalangan industri kecil dan menengah.
Industri pengolahan makanan dari kedelai baik dalam skala kecil maupun menengah banyak terdapat di wilayah Banda Aceh terutama industri tahu dan tempe. Kedelai dan produk makanan yang dihasilkannya merupakan sumber makanan yang dapat diperoleh dengan mudah dan murah serta memiliki kandungan gizi yang tinggi. Industri tempe dan tahu menghasilkan limbah organik baik dalam bentuk cair maupun padat, namun kebanyakan industri tersebut membuang limbahnya secara langsung ke lingkungan tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga mencemari lingkungan.
Teknologi pengolahan limbah baik cair maupun padat merupakan kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Apapun macam teknologi pengolahan limbah cair dan limbah padat baik domestik maupun industri yang dibangun harus dapat dioperasikan dan dipelihara masyarakat setempat. Jadi teknologi yang dipilih harus sesuai dengan kemampuan teknologi masyarakat yang bersangkutan.
Untuk mengetahui efektifitas teknologi bioproses dalam membentuk energi alternatif (biogas) maka dilakukan penelitian tentang pembentukan biogas melalui teknologi bioproses dengan media limbah cair industri tahu dan tempe.
            Tempe sudah diakui mempunyai peran yang besar dalam usaha meningkatkan gizi masyarakat terutama bagi golongan menengah kebawah. Disamping itu industri tempe yang sebagian besar masih merupakan industri rumah tangga dan dikerjakan secara tradisional, telah mampu menyerap banyak tenaga kerja. Hampir disetiap kota di Indonesia, khususnya di Aceh akan mudah dijumpai pabrik pembuatan tempe. Indonesia dapat dipandang sebagai salah satu negara yang kaya akan teknologi fermentasi secara tradisional, dan tempe merupakan salah satu produk yang paling menonjol. Dengan teknologi yang masih sederhana dan nilai gizi yang tinggi serta harga yang relatif murah, maka tempe cukup terjangkau oleh berbagai lapisan masyarakat.
            Berkat pengaruh publikasi tentang manfaat tempe dan nilai gizinya untuk kesehatan manusia, maka tampak adanya usaha pembuatan tempe kedelai yang meningkat di Amerika dan terutama di Jepang (Karyadi, 1985). Jumlah pabrik tempe yang banyak dan sebagian besar mengambil lokasi disekitar sungai ataupun selokan selokan guna memudahkan proses pembuangan limbahnya, akan sangat mencemari lingkungan perairan disekitarnya. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya upaya penanggulangan limbah. Proses produksi tempe, memerlukan banyak air yang digunakan untuk perendaman, perebusan, pencucian serta pengupasan kulit kedelai. Limbah yang diperoleh dari proses proses tersebut diatas dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Sebagian besar limbah padat yang berasal dari kulit kedelai, kedelai yang rusak dan mengambang pada proses pencucian serta lembaga yang lepas pada waktu pelepasan kulit, sudah banyak yang dimanfaatkan untuk makanan ternak. Limbah cair berupa air bekas rendaman kedelai dan air bekas rebusan kedelai masih dibuang langsung diperairan disekitarnya (Anonim, 1989). Jika limbah tersebut langsung dibuang keperairan maka dalam waktu yang relatif singkat akan menimbulkan bau busuk dari gas H2S, amoniak ataupun fosfin sebagai akibat dari terjadinya fermentasi limbah organik tersebut (Wardojo,1975). Lingkungan baik fisik, kimia maupun biologis dari perairan yang setiap hari menerima beban limbah dari proses produksi tempe ini, akan dapat mempengaruhi kualitas air dan kehidupan organisme di perairan tersebut maka dilaukannya proses ini unuk menangani limbah serta pemanfaatan limbah menjadi energi alternatif.

C.    PERUMUSAN MASALAH
            Keprihatinan terhadap kesadaran para pelaku industri tahu dan tempe baik dalam skala kecil maupun menengah di Banda Aceh dalam pengelolaan limbah yang dihasilkannya mendorong dilakukannya penelitian yang mengkaji tentang pembentukan biogas melalui teknologi bioproses dengan pemanfaatan limbah cair industri tempe. Limbah cair industri tempe yang selama ini hanya dibuang langsung ke lingkungan akan sangat mencemari lingkungan. Pencemaran ini sangat tidak dikehendaki, baik ditinjau dari segi estetika, sanitasi maupun kemungkinan terjadinya penyakit infeksi yang berbahaya.
Berdasarkan kondisi tersebut maka permasalahan yang timbul adalah :
1.   Berapa laju pembentukan biogas per jam dari 250 liter limbah cair
      indutri tempe melalui teknologi bioproses
2.   Berapa lama fermentasi untuk menghasilkan biogas secara optimal dari 250 liter limbah cair industri tempe
3.   Bagaimana efektifitas pembentukan biogas dari limbah cair industri tempe.

D.    TUJUAN
            Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah :
1.      Membuat bioreaktor digester tipe batch untuk percobaan ini.
2.      Mengetahui laju pembentukan biogas per jam dari 250 liter limbah cair indutri tempe melalui teknologi bioproses.
3.      Mengetahui lama fermentasi untuk menghasilkan biogas secara optimal dari 250 liter limbah cair industri tempe.
4.      Mengetahui efektifitas pembentukan biogas dari limbah cair industri tempe.

E.     LUARAN YANG DIHARAPKAN
                  Penelitian diharapkan dapat memberikan jalan keluar pada penanganan limbah hasil produksi tempe, sehingga tidak merusak lingkungan, serta pemanfaatan limbah tempe menjadi bahan bakar alternatif pada proses pembuatan tempe.
F.     KEGUNAAN
                  Penelitian diharapkan dapat  memberikan sumbangan ilmu pengetahuan tentang pengolahan limbah cair tempe menjadi biogas melalui teknologi alternatif bioproses. Penelitian diharapkan juga memberi masukan kepada para pelaku industri tempe khususnya di wilayah Banda Aceh sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan limbah cair yang dihasilkannya sehingga pencemaran limbah cair organik yang dihasilkan dapat dikurangi.

G.    TINJAUAN PUSTAKA
1.      Pengertian Tempe
            Rujukan pertama mengenai tempe ditemukan pada tahun 1875. Bahkan dalam manuskrip serat Centini telah ditemukan kata tempe. Hal ini menunjukkan bahwa makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Selanjutnya teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air. Saat ini tempe telah merambah ke lima benua. Melalui Belanda, tempe telah populer di Eropa sejak tahun 1946. Pada tahun 1984 sudah tercatat 18 perusahaan tempe di Eropa, 53 di Amerika, dan 8 di Jepang. Di beberapa negara lain, seperti Cina, India, Taiwan, Sri Lanka, Kanada, Australia, Amerika Latin, dan Afrika, tempe sudah mulai dikenal, kendati masih di kalangan terbatas.
(Prof. DR. Ir. Made Astawan, MS)
            Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air dadih. Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, pencucian lantai dan pemasakan serta larutan bekas rendaman kedelai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuat tahu kira-kira 15-20 l/kg bahan baku kedelai, sedangkan bahan pencemarnya kira-kira untuk TSS sebesar 30 kg/kg bahan baku kedelai, BOD 65 g/kg bahan baku kedelai dan COD 130 kg/kg bahan baku kedelai (EMDI & BAPEDAL, 1994).
            Pada industri tempe, sebagian besar limbah cair yang dihasilkan berasal dari lokasi pemasakan kedelai, pencucian kedelai, peralatan proses dan lantai. Karakter limbah cair yang dihasilkan berupa bahan organik padatan tersuspensi (kulit, selaput lendir dan bahan organik lain) (Darmono, 2001).
            Industri pembuatan tempe harus berhati-hati dalam program kebersihan pabrik dan pemeliharaan peralatan yang baik karena secara langsung hal tersebut dapat mengurangi kandungan bahan protein dan organik yang terbawa dalam limbah cair. Kunci untuk mengurangi pencemaran adalah mencegah bahan-bahan yang masih bermanfaat terbawa limbah cair. Larutan bekas pemasakan dan perendaman dapat didaur ulang kembali dan digunakan sebagai air pencucian awal kedelai. Perlakuan hati-hati juga dilakukan pada gumpalan tahu yang terbentuk dilakukan seefisien mungkin untuk mencegah protein yang terbawa dalam air dadih (EMDI & BAPEDAL, 1994).
            Perombakan (degradasi) limbah cair organik akan menghasilkan gas metana, karbondioksida dan gas-gas lain serta air. Perombakan tersebut dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pada proses aerobik limbah cair kontak dengan udara, sebaliknya pada kondisi anaerobik limbah cair tidak kontak dengan udara luar (Sugiharto, 1987).
            Biasanya biogas dibuat dari limbah peternakan yaitu kotoran hewan ternak maupun sisa makanan ternak, namun pada prinsipnya biogas dapat juga dibuat dari limbah cair, yakni limbah hasil perebusan kedelai pada pembuatan tempe. Biogas sebenarnya adalah gas metana (CH4). Gas metana bersifat tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar. Pada umumnya di alam tidak berbentuk sebagai gas murni namun campuran gas lain yaitu metana sebesar 65%, karbondioksida 30%, hidrogen disulfida sebanyak 1% dan gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil. Biogas sebanyak 1000 ft3 (28,32 m3) mempunyai nilai pembakaran yang sama dengan 6,4 galon (1 US gallon = 3,785 liter) butana atau 5,2 gallon gasolin (bensin) atau 4,6 gallon minyak diesel. Untuk memasak pada rumah tangga dengan 4-5 anggota keluarga cukup 150 ft3 per hari.
            Proses dekomposisi limbah cair menjadi biogas memerlukan waktu sekitar 8-10 hari. Proses dekomposisi melibatkan beberapa mikroorganisme baik bakteri maupun jamur, antara lain :
            a. Bakteri selulolitik
            Bakteri selulolitik bertugas mencerna selulosa menjadi gula. Produk akhir yang dihasilkan akan mengalami perbedaan tergantung dari proses yang digunakan. Pada proses aerob dekomposisi limbah cair akan menghasilkan karbondioksida, air dan panas, sedangkan pada proses anaerobik produk akhirnya berupa karbondioksida, etanol dan panas.
            b. Bakteri pembentuk asam
           Bakteri pembentuk asam bertugas membentuk asam-asam organik seperti asam-asam butirat, propionat, laktat, asetat dan alkohol dari subtansi-subtansi polimer kompleks seperti protein, lemak dan karbohidrat. Proses ini memerlukan suasana yang anaerob. Tahap perombakan ini adalah tahap pertama dalam pembentukan biogas atau sering disebut tahap asidogenik.
            c. Bakteri pembentuk metana
            Golongan bakteri ini aktif merombak asetat menjadi gas metana dan karbondioksida. Tahap ini disebut metanogenik yang membutuhkan suasana yang anaerob, pH tidak boleh terlalu asam karena dapat mematikan bakteri metanogenik.

2.      Limbah Tempe
            Tempe adalah salah satu makanan tradisional yang biasa dikonsumsi setiap hari oleh orang Indonesia. Proses produksi tahu menhasilkan 2 jenis limbah, limbah padat dan limbah cairan. Pada umumnya, limbah padat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair dibuang langsung ke lingkungan. Limbah cair pabrik tahu ini memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. Tanpa proses penanganan dengan baik, limbah tahu menyebabkan dampak negatif seperti polusi air, sumber penyakit, bau tidak sedap, meningkatkan pertumbuhan nyamuk,dan menurunkan estetika lingkungan sekitar.
Banyak pabrik tempe skala rumah tangga di Indonesia tidak memiliki proses pengolahan limbah cair. Ketidakinginan pemilik pabrik tahu untuk mengolah limbah cairnya disebabkan karena kompleks dan tidak efisiennya proses pengolahan limbah, ditambah lagi menghasilkan nilai tambah. Padahal, limbah cair pabrik tahu memiliki kandungan senyawa organik tinggi yang memiliki potensi untuk menghasilkan biogas melalui proses an-aerobik. Pada umumnya, biogas mengandung 50-80% metana, CO2, H2S dan sedikit air, yang bisa dijadikan sebagai pengganti minyak tanah atau LPG. Dengan mengkonversi limbah cair pabrik tahu menjadi biogas, pemilik pabrik tahu tidak hanya berkontribusi dalam menjaga lingkungan tetapi juga meningkatkan pendapatannya dengan mengurangi konsumsi bahan bakar pada proses pembuatan tahu.
Bahan baku yaitu dali limbah tahu cair menjadi Biogas
Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air dadih. Cairan ini mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Sumber limbah cair lainnya berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, pencucian lantai dan pemasakan serta larutan bekas rendaman kedelai. Jumlah limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuat tahu kira-kira 15-20 l/kg bahan baku kedelai, sedangkan bahan pencemarnya kira-kira untuk TSS sebesar 30 kg/kg bahan baku kedelai, BOD 65 g/kg bahan baku kedelai dan COD 130 g/kg bahan baku kedelai. (EMDI & BAPEDAL, 1994).
Pada industri tempe, sebagian besar limbah cair yang dihasilkan berasal dari lokasi pemasakan kedelai, pencucian kedelai, peralatan proses dan lantai. Karakter limbah cair yang dihasilkan berupa bahan organik padatan tersuspensi (kulit, selaput lendir dan bahan organik lain).
Industri pembuatan tahu dan tempe harus berhati-hati dalam program kebersihan pabrik dan pemeliharaan peralatan yang baik karena secara langsung hal tersebut dapat mengurangi kandungan bahan protein dan organik yang terbawa dalam limbah cair.

1. Pengolahan Limbah Secara Fisika
Pada umumnya, sebelum dilakukan pengolahan lanjutan terhadap air buangan, diinginkan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (screening) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel dan waktu detensi hidrolis di dalam bak pengendap.
2. Pengolahan Limbah Secara Kimia
Pengolahan air buangan secara kimia biasanya dilakukan untuk menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), logam-logam berat, senyawa fosfor, dan zat organik beracun; dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi.

3. Pengolahan Limbah Secara Biologi
Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan sekunder, pengolahan secara nbiologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya.
Pada dasarnya, reaktor pengolahan secara biologi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu:
1. Reaktor pertumbuhan tersuspensi (suspended growth reaktor);
2. Reaktor pertumbuhan lekat (attached growth reaktor)
Di dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif yang banyak dikenal berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai modifikasinya, antara lain: oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam). Proses kontak-stabilisasi dapat pula menyisihkan BOD tersuspensi melalui proses absorbsi di dalam tangki kontak sehingga tidak diperlukan penyisihan BOD tersuspensi dengan pengolahan pendahuluan.
Limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu dapat digunakan sebagai alternatif pakan ternak. Hal tersebut dilakukan karena dalam ampas tahu terdapat kandungan gizi. Yaitu, protein (23,55 persen), lemak (5,54 persen), karbohidrat (26,92 persen), abu (17,03 persen), serat kasar (16,53 persen), dan air (10,43 persen). Salah satu alasannya, selain untuk mengurangi pencemaran lingkungan, khususnya perairan.
Recycle
Larutan bekas pemasakan dan perendaman dapat didaur ulang kembali dan
digunakan sebagai air pencucian awal kedelai. Perlakuan hati-hati juga dilakukan pada gumpalan tahu yang terbentuk dilakukan seefisien mungkin untuk mencegah protein yang terbawa dalam air dadih.

3. Materi
Perombakan (degradasi) limbah cair organik akan menghasilkan gas metana, karbondioksida dan gas-gas lain serta air. Perombakan tersebut dapat berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pada proses aerobik limbah cair kontak dengan udara, sebaliknya pada kondisi anaerobik limbah cair tidak kontak dengan udara luar.
Biasanya biogas dibuat dari limbah peternakan yaitu kotoran hewan ternak maupun sisa makanan ternak, namun pada prinsipnya biogas dapat juga dibuat dari limbah cair. Biogas sebenarnya adalah gas metana (CH4). Gas metana bersifat tidak berbau, tidak berwarna dan sangat mudah terbakar. Pada umumnya di alam tidak berbentuk sebagai gas murni namun campuran gas lain yaitu metana sebesar 65%, karbondioksida 30%, hidrogen disulfida sebanyak 1% dan gas-gas lain dalam jumlah yang sangat kecil. Biogas sebanyak 1000 ft3 (28,32 m3) mempunyai nilai pembakaran yang sama dengan 6,4 galon (1 US gallon = 3,785 liter) butana atau 5,2 gallon gasolin (bensin) atau 4,6 gallon minyak diesel. Untuk memasak pada rumah tangga dengan 4-5 anggota keluarga cukup 150 ft3 per hari.
Proses dekomposisi limbah cair menjadi biogas memerlukan waktu sekitar 8-10 hari. Proses dekomposisi melibatkan beberapa mikroorganisme baik bakteri maupun jamur, antara lain :
a.       Bakteri selulolitik
Bakteri selulolitik bertugas mencerna selulosa menjadi gula. Produk akhir yang dihasilkan akan mengalami perbedaan tergantung dari proses yang digunakan. Pada proses aerob dekomposisi limbah cair akan menghasilkan karbondioksida, air dan panas, sedangkan pada proses anaerobik produk akhirnya berupa karbondioksida, etanol dan panas.
b. Bakteri pembentuk asam
Bakteri pembentuk asam bertugas membentuk asam-asam organik seperti asam-asam butirat, propionat, laktat, asetat dan alkohol dari subtansi-subtansi polimer kompleks seperti protein, lemak dan karbohidrat. Proses ini memerlukan suasana yang anaerob. Tahap perombakan ini adalah tahap pertama dalam pembentukan biogas atau sering disebut tahap asidogenik.
c. Bakteri pembentuk metana
Golongan bakteri ini aktif merombak asetat menjadi gas metana dan karbondioksida. Tahap ini disebut metanogenik yang membutuhkan suasana yang anaerob, pH tidak boleh terlalu asam karena dapat mematikan bakteri metanogenik.

4. Energi
Penggunaan limbah tahu cair sebagai bahan baku pembuatan biogas memanfaatkan bahan-bahan yang dapat diperbaharui seperti penggunaan bakteri atau mikroorganisme pada proses pengolahannya. Sehingga pada proses pengolahan tersebut dapat mengemat energi.

5. Produk Baru
Produk yang dihasilkan dari pengolahan limbah tahu cair adalah biogas. Bio gas sangat bermanfaat bagi alat kebutuhan rumah tangga/kebutuhan sehari-hari, misalnya sebagai bahan bakar kompor (untuk memasak), lampu, penghangat ruangan/gasolec, suplai bahan bakar mesin diesel, untuk pengelasan (memotong besi), dan lain-lain. Sedangkan manfaat bagi lingkungan adalah dengan proses fermentasi oleh bakteri anaerob (Bakteri Methan) tingkat pengurangan pencemaran lingkungan dengan parameter BOD dan COD akan berkurang sampai dengan 98% dan air limbah telah memenuhi standard baku mutu pemerintah sehingga layak di buang ke sungai. Bio gas secara tidak langsung juga bermanfaat dalam penghematan energi yang berasal dari alam, khususnya sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi) sehingga sumber daya alam tersebut akan lebih hemat dalam penggunaannya dalam jangka waktu yang lebih lama lagi.

Karakteristik Limbah

Untuk limbah industri tahu tempe ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisika dan kimia. Karakteristik fisika meliputi padatan total, suhu, warna dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas.Suhu buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 400C sampai 46 0C.
Suhu yang meningkat di lingkungan perairan akan mempengaruhi kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan. Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut dapat berupa protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Di antara senyawa-senyawa tersebut, protein dan lemaklah yang jumlahnya paling besar, yang mencapai 40% - 60% protein, 25 - 50% karbohidrat, dan 10% lemak (Sugiharto, 1987). Semakin lama jumlah dan jenis bahan organik ini semakin banyak, dalam hal ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme di dalam air limbah tahu tersebut.
Untuk menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD, COD dan TOM. Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah tangga. Air buangan industri tahu kualitasnya bergantung dari proses yang digunakan. Apabila air prosesnya baik, maka kandungan bahan organik pada air buangannya biasanya rendah.
Pada umumnya konsentrasi ion hidrogen buangan industri tahu ini cenderung bersifat asam. Komponen terbesar dari limbah cair tahu yaitu protein (N-total) sebesar 226,06 sampai 434,78 mg/l. sehingga masuknya limbah cair tahu ke lingkungan perairan akan meningkatkan total nitrogen di peraian tersebut. Gas-gas yang biasa ditemukan dalam limbah adalah gas nitrogen (N2 ), oksigen (O2 ), hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3 ), karbondioksida (CO2 ) dan metana (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari dekomposisi bahan-bahan organik yang terdapat di dalam air buangan.

Permasalahan                                         
            Limbah cair yang dikeluarkan oleh industri-industri masih menjadi masalah bagi lingkungan sekitarnya, karena pada umumnya industri-industri, terutama industri rumah tangga mengalirkan langsung air limbahnya ke selokan atau sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Demikian pula dengan industri tahu/tempe yang pada umumnya merupakan industri rumah tangga. Keadaan ini akibat masih banyaknya pengrajin tahu/tempe yang belum mengerti akan kebersihan lingkungan dan disamping itu pula tingkat ekonomi yang masih rendah, sehingga pengolahan limbah akan menjadi beban yang cukup berat bagi mereka. Namun demikian keberadaan industri tahu-tempe harus selalu didukung baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat karena makanan tahu-tempe merupakan makanan yang digemari oleh hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia, disamping nilai gizinya tinggi harganya pun relatif murah.
Limbah industri tahu-tempe dapat menimbulkan pencemaran yang cukup berat karena mengandung polutan organik yang cukup tinggi. Dari beberapa hasil penelitian, konsentrasi COD (Chemical Oxygen Demand) di dalam air limbah industri tahu-tempe cukup tinggi yakni berkisar antara 7.000 - 10.000 ppm, serta mempunyai keasaman yang rendah yakni pH 4-5. Dengan kondisi seperti tersebut di atas, air limbah industri tahu-tempe merupakan salah satu sumber pencemaran lingkungan yang sangat potersial.
           Saat ini pengelolaan air limbah industri tahu-tempe umumnya dilakukan dengan cara membuat bak penampung air limbah sehingga terjadi proses anaerob. Dengan adanya proses biologis anaerob tersebut maka kandungan polutan organik yang ada di dalam air limbah dapat diturunkan. Tetapi dengan proses tersebut efisiesi pengolahan hanya berkisar antara 50 % - 70 % saja. Dengan demikian jika konsertarsi COD dalam air limbah 7000 ppm, maka kadar COD yang keluar masih cukup tinggi yakni sekitar 2100 ppm, sehinga hal ini masih menjadi sumber pencemaran lingkungan.
6.        Reaktor Biogas (Biogas Digester)
1.      Tipe Batch
Pada tipe batch bahan organik ditempatkan di tangki tertutup dan diproses secara anaerobik selama 2 – 6 bulan tergantung pada jumlah bahan yang dimasukkan. Isi dari digester biasanya dihangatkan dan dipertahankan temperaturnya. Selain itu kadangkala diaduk untuk melepaskan  gelembung-gelembung gas dari sludge.
Tipe digester ini tidak membutuhkan banyak perhatian selama proses. Meskipun demikian hampir semua bahan organik tetap akan diproses. Efisiensi maksimal dari proses hanya dapat diharapkan bila digester diisi dengan hati-hati. Ruang yang terbuang dan udara yang terjebak didalam sludge harus dihindarkan karena akan menghambat pembentukan gas metana. C/N ratio harus dikontrol dengan baik pada awal proses, karena sulit untuk memperbaiki bila digester sudah mulai memproses.
Tipe Batch digunakan untuk mengetahui kemampuan bahan yang diproses
sebelum unit yang besar dibangun. Miniatur tipe batch dirancang oleh Henry Doubleday Research Association (Gambar G.1). Digester ini memiliki volume 10 liter dan cocok digunakan sebagai percobaan di sekolah dan laboratorium. Selain itu Gas bio Plant Ltd. telah memproduksi Dustbin digester dengan volume 34 liter, hampir sama dengan yang dibuat Fry yang terbuat dari drum bekas hanya saja Dustbin memiliki konstruksi yang lebih rumit (Meynell, 1976).
Tipe batch memiliki keuntungan lain yaitu dapat digunakan ketika bahan tersedia pada waktu – waktu tertentu dan bila memiliki kandungan padatan tinggi (25%). Bila bahan berserat/ sulit untuk diproses, tipe batch akan lebih cocok dibanding tipe aliran kontinyu (continuos flow), karena lama proses dapat ditingkatkan dengan mudah. Bila proses terjadi kesalahan, misalnya karena bahan beracun, proses dapat dihentikan dan dimulai dengan yang baru (Meynell, 1976).

2.3.2    Tipe Aliran Kontinyu (Continuos Flow)
Pada tipe aliran kontinyu bahan dimasukkan ke dalam digester secara teratur pada satu ujung dan setelah melalui jarak tertentu, keluar di ujung yang lain (Gambar G.2). Tipe ini mengatasi masalah pada proses pemasukan dan pengosongan pada tipe batch. Terdapat dua jenis dari tipe aliran kontinyu:
1. Vertikal, dikembangkan oleh Gobar Gas Institute, India
2. Horisontal, dikembangkan oleh Fry di Afrika Selatan dan California, selain itu
    dikembangkan oleh Biogas Plant Ltd. dengan digester yang terbuat dari karet
    Butyl (butyl ruber bag).
Selain itu terdapat beberapa jenis digester biogas yang biasa digunakan. Digester ini dibuat dengan bahan dasar batu bata dan semen (Sufyandi, 2001), digester tersebut yaitu Fixed dome dan Floating Drum. Jenis Fixed Dome ini (Gambar G.2) terdiri dari bagian pencerna yang berbentuk kubah tertutup yang tidak dapat dipindah pindah, penahan gas kaku, dan baskom pemindah substrat (keseimbangan) bagian silinder pencerna terbuat dari beton, walaupun demikian efektifitas penggunaan gasnya rendah, karena fluktuasi tekanan yang tidak dapat konstan, selain itu bahan beton tidak kedap air, sehingga pada bagian penyimpanan gas harus dicat dengan bahan yang kedap udara seperti lateks atau cat sintetis. Unit pencerna jenis Fixed Dome sebaiknya dibenamkan di dalam tanah, hanya bagian penahan gas yang menonjol di permukaan tanah. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan temperatur.
Keuntungan unit pencerna ini adalah umur pakai panjang (20 tahun), rancangan stabil, dapat menciptakan lapangan kerja lokal. Kesulitan yang dihadapi tidak kedap air karena terbuat dari beton, tekanan gas tidak konstan, hanya dapat dibuat dengan baik apabila dikerjakan oleh tenaga ahli. Digester Floating Drum ini terdiri dari ruang pencerna berbentuk silinder atau kubah yang dapat bergerak, penahan gas mengapung atau drum (Gambar G.3). Pergerakan penahan gas dipengaruhi oleh proses fermentasi dan pembentukan gas. Bagian drum sebagai tempat tersimpannya gas yang terbentuk mempunyai rangka pengarah agar pergerakan drum stabil.
Keuntungan unit pencerna floating drum adalah mudah dioperasikan, produksi gasnya dapat dimonitor dan tekanan konstan. Kerugiannya adalah umur pakai pendek (<5 tahun), karena drum terbuat dari logam mudah berkarat dan bersifat inhibitor terhadap pertumbuhan bakteri/ mikroorganisme. Bila substratnya mengandung bahan berserat, pengeluaran gas akan terhambat, karena pembentukan buih yang banyak.

H.    METODELOGI PENELITIAN

1.      Tempat dan waktu penelitian
            Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Teknik Kimia Unsyiah

2.      Bahan dan Alat
·         Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah :
            - limbah air perebusan tempe : 300 liter
            - aktivator EM4: 30 Liter
·         Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
-          Drum 3 Buah
-          Pipa besi ¾ 2 Batang
-          Kran Sanwell 2 Buah
-          Elbow ¾ 4 Buah
-          Selang Plastik 4 Meter
-          Alat las
-          Penampung Sampel1 buah
-          pH meter 1 Buah
-          Biuret 1 Buah
-          Centrifuge :           1 Buah
-          Labu Ukur :           2 Buah Pirex
-          Gelas Ukur : 1 Buah Pirex
-          Gelas Piala :  2 Buah Pirex
-          Erlenmayer : 5 buah Pirex
-          Pemantik api satu tungku 
-          Pipet ukur 1 Buah
-          Pipet Tetes 1 Buah           
-          Phenolpentalin (PP) 50ml 
-          Aquadest 20 liter              
-          Thermometer 2 Buah        
-          Kertas tisue 1 pack           


3Perlakuan dan Rancangan Percobaan
3.1       Variabel Tetap
            - Temperatur
            - pH
            - BOD
            - TTS
3.2       Variabel Berubah
            - Volume bahan baku(liter)                 : 20, 40, 60, 80, 100
            - Aktivator EM4(liter)                         : 2, 4, 6, 8, 1

4.         Prosedur Penelitian
4.1       Pembuatan starter
            Starter dibuat dari EM4 dan dimasukkan ke dalam limbah cair industri tahu dan tempe sebanyak 1:10. Kemudian difermentasi selama 3-4 hari. Proses fermentasi berlangsung secara anaerobic sehingga diperlukan tangki yang kedap udara.

4.2       Fermentasi limbah cair menjadi biogas
            Diperlukan 2 bangunan yaitu tangki pencerna atau tangki fermentasi dan tangki metana. Tangki pencerna berbentuk persegi atau silindris yang terbuat dari bahan kedap air dan udara.  Ukuran tangki pencerna tergantung jumlah limbah cair yang akan difermentasi. Tangki gas juga harus kedap air dan udara.  Umumnya tangki gas dibuat dari logam dan dimasukkan ke dalam tangki pencerna untuk menampung gas metana.  Tutup tangki gas terdapat pipa yang dilengkapi kran untuk mengeluarkan gas metana. 
            Limbah cair industri tempe dimasukkan ke dalam tangki pencerna sebanyak 250 liter. Kemudian ditambahkan starter sebanyak 25 liter, kemudian difermentasi selama 8 – 10 hari. Tangki fermentasi dihubungkan dengan tangki gas dengan selang sehingga jika terbentuk gas akan langsung masuk ke tangki gas.



4.3       Uji Produk di lapangan
            Biogas yang dihasilkan diujicobakan yaitu digunakan untuk memasak. Kompor yang digunakan adalah kompor khusus yang terbuat dari kaleng biskuit. Efektifitas biogas kemudian diukur.

5Parameter
Parameter yang diamati adalah laju pembentukan biogas setiap jam, lama waktu fermentasi untuk menghasilkan biogas secara optimum dan efektifitas pembentukan biogas melalui teknologi bioproses.
6Jadwal Penelitian

No.
Kegiatan
Bulan
I
II, III, IV
V
1.
Persiapan



2.
Pelaksanaan penelitian



3.
Pembuatan laporan






K. DAFTAR PUSTAKA



Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran : Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press, Jakarta.

EMDI dan BAPEDAL. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri Di Indonesia: Sumber, pengendalian dan baku Mutu. Project of the Ministry for the Environment, Republic of Indonesia and Dalhousie University, Canada.

Fry, L. J., 1973, Methane Digesters for Fuel Gas and Fertilizer, The New
Alchemy Institute, Massachusetts, 8th Printing.
http://journeytoforever.org/biofuel_library/MethaneDigesters/MD1.html ,
26 sept 2003.

Fry, L.J., 1974, Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy
Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great Britain.

Meynell, P. J., 1976, Methane : Planning a Digester, Prism Press, Great Britain.

Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. UI-Press, Jakarta.

(http:// pengolahan-limbah-tahu-dan-tempe-tahu.html, diakses tanggal 22 Agustus 2009)